It Ends With Us (2024): Film, Fakta KDRT dan Healing untuk Ibu

It Ends With Us (2024): Film, Fakta KDRT dan Healing untuk Ibu – Sampai sekarang, kasus dua aktor dari film It Ends With Us (2024) masih berjalan. Bahkan gugatan makin melebar ke orang-orang yang terduga terkait. Dari ketertarikan saya tinggi sampai agak jenuh. Bahkan mati rasa dengan update beritanya.

Tetap saja, ada keingintahuan dari saya tentang film yang didasari dari novel Colleen Hoover berjudul sama ini. Karena meskipun di luar sana ‘panas’ akan perang di media dan tuntutan ke pengadilan, tetap saja perlu ditelusuri film yang tayang seperti apa. Tentunya, ini film yang kabarnya editannya dilakukan atas supervisi tim Blake Lively. Dan bukan dari sutradara aslinya, Justin Baldoni.

Nah, seperti apa tanggapan saya mengenai film mengenai hubungan toxic dalam pernikahan ini? Dan mengapa menurut saya, bahasan film ini cukup penting untuk ibu rumah tangga? Yuk kita bahas.

Sinopsis It Ends With Us (2024)

Film dibuka dari kedatangan Lily Bloom (Blake Lively) ke rumah masa kecilnya, dimana ternyata ayah kandungnya baru meninggal. Meski berduka, Lily tampak memendam banyak emosi di benaknya. 

Ia pun kabur dari suasana pemakaman di kota kecilnya lalu memutuskan duduk di rooftop sebuah gedung apartemen. Disana ia bertemu dengan Ryle (Justin Baldoni), seorang dokter bedah tampan. 

Tak butuh waktu lama untuk Ryle mencoba menggodanya agar mau tidur dengannya. Namun Lily menolak karena ia lebih suka hubungan serius. 

Lily kemudian fokus membuka toko bunga miliknya sendiri di kota yang sama. Ternyata, karyawati yang spontan menawarkan diri bekerja untuknya, Allysa (Jenny Slate) adalah saudari Ryle yang membuat mereka jadi sering bertemu. Meski awalnya Lily menolak, namun ia menyambut godaan Ryle yang tak juga berhenti.

Keduanya memutuskan untuk berhubungan serius. Uniknya, di malam yang sama Ryle bertemu pertama kali dengan Ibu Lily, mereka juga bertemu dengan mantan kekasih Lily ketika remaja, Atlas (Brandon Sklenar). 

Kedua kalinya mereka ke restoran tersebut, Atlas memperhatikan memar di wajah Lily. Secara privat, Atlas menanyakan keadaan Lily. Lily berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Mengetahui kedekatan mereka yang singkat itu, Ryle marah dan ia terlibat perkelahian dengan Atlas di restoran.

Ryle cemburu dan mengancam Lily agar tidak berhubungan lagi dengannya. Hubungan mereka berjalan terus. Hingga suatu hari toko Lily dan restoran Atlas dinobatkan sebagai salah satu dari tempat terbaik dalam kota mereka di majalah gaya hidup. Ternyata ketakutan Lily agar tidak menjadi Ibunya malah menjadi kenyataan. 

Review Jujur Film ‘It Ends With Us’ dan Isu Kekerasan

Topik Kekerasan Dalam Rumah Tangga & Segmentasi

Kabarnya fanbase novel film ini kuat, yakni perempuan-perempuan yang menyukai kisah Lily Bloom. Sayangnya saya belum sempat baca novelnya, jadi mungkin bisa lebih paham kisah aslinya.

Topik film IEWU cukup berat, yakni kekerasan dalam rumah tangga. Miris, namun ada perempuan-perempuan mengalami hal ini di rumah tangganya dan tidak berani untuk mencari perlindungan. Banyak yang memilih bertahan karena suatu alasan yang ia pikir paling benar. 

Untuk membuat film ini nyaman ditonton segmennya, yakni perempuan, ya saya rasa film ini berhasil. Tapi untuk membuatnya layak dijadikan film layar lebar, sebenarnya nggak juga. Kenapa menurutmu?

Sinematografi dan Akting Lively

Banyak sinematografi dan editingnya membuat film ini terasa seperti film akhir pekan di channel keluarga. Banyak shot yang dominan di close up wajah membuat film ini lebih pas ditonton di televisi. 

Akting misalnya, level Blake Lively cukup acceptable memerankan Lily. Tapi di beberapa adegan dramatis seperti di momen berduka akan kematian Bapaknya, Likely terlihat tidak memperlihatkan banyak range akting. Bayangkan harus melepas amarah dan sedih terpendam bertahun-tahun karena memiliki Ayah yang memukuli Ibu dan mantan pacarnya. Pastinya Lily punya banyak konflik batin. Tapi tidak terlihat banyak di akting Lively. 

Teror Dalam Hubungan Toxic yang Minim Terlihat & Kasus Di Balik Layar

Menurut saya, karena film ini memperlihatkan perjuangan wanita yang mengalami KDRT, perlu lebih banyak menunjukkan pahit dan teror dari hubungan toxic. Tapi tidak begitu banyak ditunjukkan melainkan dari memar di wajah Lily dan beberapa adegan Ryle meng-abuse-nya (itupun ngga begitu banyak). Memang sih nggak nyaman untuk melihat adegan-adegan ini, tapi banyak kok film yang bisa menunjukkannya tanpa terlalu terlihat violent atau berlebihan.

Entah apa sebab ini terjadi karena konflik di balik syuting yang sebenarnya terjadi sehingga adegannya jadi tidak banyak. Karena kekurangan unsur pahit ini, bagian akhir jadi kurang ‘gong’ alias plain (datar). Padahal film tentang pengalaman perempuan yang bertahan dalam hubungan abusive ini berpotensi ‘menggerakkan’ wanita-wanita yang terjebak dalam hubungan KDRT. 

Sayangnya, film tentang kekerasan rumah tangga dan pemulihan diri ini tertutup oleh hangatnya kasus Lively versus Baldoni. ‘Lucu’nya ada tudingan aktris utama bahwa sutradara dan aktor utamanya melakukan pelecehan kepadanya. Kemudian tim studio Baldoni pun balik menuntut Lively. Tapi dari kasus ini saya mempelajari banyak taktik Public Relations, hehe. 

Langkah Nyata Bagi Perempuan Korban KDRT

Agar kita, para wanita, nggak terjebak dalam hubungan toxic dan abuse rumah tangga, mungkin bisa melakukan beberapa langkah berikut:

Menyadari dan Mengakui Bahwa Mengalami Kekerasan

Menyadari bahwa ada red flag atau tanda-tanda berbahaya bahwa hubungan kita tidak sehat, adalah langkah awal. Telusuri cara mengenali tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga. Cek tanda-tanda fisik dan juga mental kita apakah kondisinya nggak normal. Berusaha jujur dengan diri sendiri. Dan bisa dimulai dengan menulis jurnal ibu untuk healing dari hubungan abusive.

Mengutamakan Kesehatan Fisik dan Mental

Jika merasa dalam bahaya, upayakan keluar dari situasi tersebut. Siapkan benda-benda penting di tempat yang mudah dijangkau dan tas darurat yang bisa dibawa jika harus pergi dari rumah secara cepat.

Hubungi Pihak Terpercaya 

Ceritakan kepada orang yang kamu bisa percayakan. Tak perlu menyalahkan diri sendiri terlalu dalam. 

Di Indonesia, hubungi SAPA 129 (layanan kementerian PPPA), Komnas Perempuan dan LBH APIK Jakarta (bantuan hukum perempuan & anak). 

Dokumentasi Kekerasan Fisik

Memiliki dokumentasi bahwa kamu mengalami kekerasan fisik dalam hubungan penting untuk memiliki kekuatan hukum. Misalnya untuk bercerai secara legal. Contoh dokumentasi seperti rekaman suara, video, screenshot percakapan, hasil pemeriksaan kesehatan fisik maupun catatan harian. 

Mengusahakan Bantuan untuk Diri Sendiri

Ambil kendali dan fokus pada hidup. Misalnya mendalami skill atau minat, mencari usaha kecil-kecilan atau kerja lepas. Kita juga bisa mengambil konseling online atau offline, maupun bergabung dengan komunitas perempuan yang suportif.

Tak lupa usaha untuk kembali ke identitas diri, jika terkikis karena perlakuan kekerasan rumah tangga. Melakukan journaling untuk ibu rumah tangga secara berkala bisa dilakukan sebagai upaya self-healing untuk perempuan. 

Memikirkan Bantuan Hukum dan Perlindungan 

Di posisi yang telah mendapatkan perlakuan abuse dari pasangan, kita bisa meminta berpisah atau bercerai, hak asuh anak maupun perlindungan hukum. Kita dapat menghubungi LBH atau kantor hukum yang memiliki layanan pro bono alias gratis. 

Menanamkan Mindset Meninggalkan Bukan Berarti Gagal 

Hubungan yang gagal bisa membuat kita merasa bersalah. Namun kekerasan bukanlah bentuk kasih sayang. Melainkan bentuk penyimpangan batin lebih dalam. 

Jika pasangan memiliki kepedulian pada kita, hendaknya ia memiliki upaya untuk memperlakukan pasangan selayaknya. 

Penutup

Sedang dalam hubungan toxic atau tidak, seorang wanita sebaiknya ada waktu untuk self-healing dari problem yang dialami. Mungkin kamu seorang ibu yang cari ruang untuk refleksi dan mengenal diri kembali, bisa coba printables journaling refleksi ibu ini. Siapa tahu bisa membantumu berpikiran mindful dan lebih terhubung ke diri sendiri.

Apa kamu punya pengalaman terjebak dalam hubungan yang toxic? Bagaimana saranmu agar kembali mengenali diri sendiri? Terima kasih sudah baca artikel di blog Sunglow.me.

Kontak terkait:

  • Komnas Perempuan: https://komnasperempuan.go.id/
  • SAPA 129: https://sapa129.id/
  • LBH APIK: https://lbhapik.org/

15 thoughts on “It Ends With Us (2024): Film, Fakta KDRT dan Healing untuk Ibu”

  1. Film memang berusaha menjadi alat edukatif: menunjukkan bahwa kasih sayang tidak selalu sehat, dan dalam cinta kita perlu punya batas setelah tanda-tanda manipulatif muncul.

    Sebagai ilustrator lepas, aku membayangkan adegan Lily membuka jurnal—dan tiap halamannya digambarkan dengan garis halus, bunga layu, hingga coretan emosional. Itu bisa jadi visual kuat: diary bukan sekadar lembar kosong, tapi arena refleksi dan kekuatan diri.

    Tulisanmu membuat aku mikir: proses healing individual kadang terlalu pribadi untuk disebut sebagai film drama. Maka aku salut kamu menyisipkan journaling sebagai bentuk empowerment yang nyata. Semoga tulisan indah ini terus menginspirasi banyak perempuan untuk “berakhir dengan kita sendiri” yang kuat

  2. Aku sudah nonton film ini di awal2 agak bingung apakah bakal happy ending atau spt apa namun ternyata akhirnya dia bisa mengambil pilihan terbaik untuk mencegah kejadian yang sama menimpa diri dan anaknya…
    Btw aku malah gak tau ini ada tuntun menuntut antara pemain dan sutradaranya ternyata di luar malah panas yaa hehe…

  3. Film edukatif ini ya kak, sepertinya memang cocok untuk perempuan muda dan dewasa supaya lebih bisa aware tentang KDRT yang kadang tak selalu berupa main fisik.

  4. Tema film yang secara tidak langsung jadi sarana edukasi untuk penontonnya. Beberapa kali cuplikan filmnya sempat viral di fyp tiktok, apa karena ada yang viral dari artisnya juga jadi berpengaruh orang penasaran dengan filmnya seperti apa

  5. Nah iya..aku saat kelar nonton pun bertanya-tanya, ini sih terlalu banyak romantismenya, mengabaikan elemen penting isu kekerasan dalam rumah tangga dan inner child/trauma..Dari poster aja kek drama romance, yaa
    Makanya pas rame kasus aku nethink jadinya,,ini sengaja kali, biar buat promosiii

  6. Film It Ends With Us (2024) ini bener-bener menyentuh dan relevan banget, terutama buat para ibu atau perempuan yang pernah berada dalam hubungan yang tidak sehat. Meski ada beberapa bagian yang terasa terlalu ringan untuk isu seberat KDRT, tapi pesan utama filmnya tetap kuat—bahwa kita punya hak untuk memilih berhenti dan memutus siklus kekerasan. Cerita Lily jadi pengingat bahwa healing itu mungkin, dan keberanian seorang ibu bisa jadi titik awal perubahan besar.

  7. Belum nonton nih. Tapi sepertinya cerita Lily cukup relate dengan banyak orang yang pernah punya masa lalu kelam dan hubungan toksik. Film ini kayaknya emosional banget ya.

  8. Saya catat dan diingetin betul judulnya soalnya takut lupa. Film kayak gini saya sukaa banget, soalnya banyak pelajaran yang bisa didapet buat emak-emak kayak saya.

  9. Sebenarnya big no no yaaa untuk memaklumi kekerasan gini, terutama yang kekerasan fisik. Bekasnya ga cuma di badan, mental pun ikut hancur. Semoga para perempuan yang masih harus berjuang lepas dari hubungan toxic begini diberikan jalan yang tepat agar kembali bisa menghargai dan menyayangi dirinya sendiri.

  10. Kalau istri yang kerja banting tulang, dan ada suami yang flat aja, ada atau gak kebutuhan di rumah itu termasuk kekerasan dalam bentuk emosional gak sih mbak? Yang jelas toxic juga ya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *