Seni Menyingkirkan Barang (Declutter) – Sedang viral ucapan Marie Kondo, si declutter expert dan penulis buku Life-Changing of Tidying Up, yang bilang ia menyerah beres-beres setelah punya anak. Banyak sekali status ibu-ibu yang antara tertawa, lega dan salut.
Saya sih termasuk yang salut. Soalnya saya bisa merasakan Marie Kondo pasti berat untuk mengakui fakta ini. Bukan cuma karena dia membangun karir dari membereskan barang, tapi karena pada dasarnya ia memiliki habit dan hobby beberes. Dibandingkan saya yang barometer beberesnya tidak setinggi beliau, pasti dirinya mumet melihat rumah selalu diberantakan anak-anaknya.
Tentang ‘Menyingkirkan’ Barang
Sebelum rumah rapih, isi rumah harus lebih dulu dicek ulang. Adakah barang-barang yang bisa disingkirkan? Decluttering adalah mengeluarkan barang-barang yang tidak lagi kita butuhkan atau pakai. Kalau gaya Konmari, yaitu tumpukkan semua barang dan pilih benda yang sparks joy.
Saya sih nggak melakukan itu. Tapi langsung sortir saja mana benda yang sudah jarang atau tak pernah dipakai lagi, pisahkan dan kemudian dibuang/dikasih lagi ke orang lain.
Sounds easy, ya kan?
Tapi dalam kenyataannya nggak begitu. Setelah saya sortir benda-benda yang tak lagi dipakai, biasanya saya pisahkan dalam kardus atau kantong. Dan karena saya belum menemukan yang mau menampung barang-barang ini, akhirnya kardus dan kantong itu dibiarkan saja untuk beberapa lama.
Ya, karena menemukan mereka yang mau menerima benda-benda tak dipakai ini tidaklah mudah. Pun ketika kita pikir tinggal kasih/kirim saja ke penerima, yakin nggak benda-benda yang kita kasih akan digunakan dan tidak didiamkan saja (karena tidak berguna)?
Marie Kondo pun mengaku di bukunya bahwa ia telah ‘mengalihkan’ barang-barang yang tak ia pakai ke adiknya. Namun ternyata barang-barangnya ini malah ‘menumpuk’ di rumah si adik dan tidak dipakai. Sehingga barang-barang ini tidak serta-merta dipergunakan lagi, cuma pindah tempat karena si penerima ‘tidak enak’ menolak.
Nah berikut ada beberapa cerita saya dalam usaha menyingkirkan barang yang tak lagi saya pakai. Ini dia:
Mengirimkan Barang ke Zona Bencana
Terdengar sempurna ketika ada wilayah yang terkena bencana dan kita mengirimkan benda-benda di rumah yang tak dipakai. Tapi benarkah benda yang kita kirimkan dibutuhkan di wilayah itu? Suatu saat saya pernah mengirimkan barang-barang yang sudah saya pisahkan untuk didonasikan atau diberikan saja. Apa problem solved? Hmmm…
Saya membaca pengakuan blogger yang kebetulan tinggal di daerah bencana yang mengaku melihat bapak-bapak memakai… gamis! Ini karena kekurangan baju laki-laki.
Wah! Ini jadi pelajaran. Jangan cuma mikir ‘bersihin rumah’ aja, tapi pikirkan juga mereka yang terkena bencana sedang butuh apa? Walau secara konsep terdengar sempurna, keluarkan barang di rumah yang tidak kita pakai dan kirim ke tempat yang ‘kekurangan’. Tapi kita perlu lebih peka, kekurangan apa dulu?
Memberikan Barang ke Tukang Barang Bekas
Suatu ketika, ada tukang barang bekas yang lewat di depan rumah. Waktu itu saya memberikan benda-benda elektronik yang rusak, karena ia hanya meminta benda-benda elektronik. Saya menyimpan nomornya karena diapun meminta saya simpan saja nomornya. Saya berharap dia bisa datang lagi lain waktu.
Kemudian dispenser saya rusak setelah beberapa kali berusaha diperbaiki. Belum lagi ada rice cooker tua yang sudah tidak menyala. Rasanya rice cooker ini pun disimpan di belakang rumah sudah setahun, karena bingung mau diapakan.
Saya pun mencoba hubungi beliau. Namun dia tak datang. Entah apa dia bingung saya siapa. Padahal saya sudah cantumkan nomor rumah dan nama perumahan.
Kondisinya agak sulit karena perumahan tempat tinggal waktu itu tidak asal memasukkan penjual. Ini dikarenakan musim pandemi. Dan dengan menyimpan rasa gemas, dispenser rusak itu harus mejeng di dekat pintu kamar tidur saya karena tidak ada ruang lagi yang tersisa.
Ketika tukang barang bekas lewat pun, saya tidak sedang siap menyetopnya. Akhirnya setelah dia beberapa kali lewat, saya berhasil memberikannya dispenser itu dan beserta rice cooker rusak.
Dia kembali meminta saya simpan nomornya. Dan agar segera mengirimnya pesan agar dia bisa menyimpan nomor saya. Katanya, “Biar saya tahu siapa yang menghubungi.”
Menyumbangkan Buku-Buku Desain
Buku-buku Desain adalah koleksi buku yang awalnya sangat saya hargai. Tapi setelah menjadi Ibu dan bekerja lepas, buku-buku Desain itu cuma mejeng saja di rak. Belum lagi buku-buku yang ada di rumah orangtuaku, kerap diberikan Ibu saya karena diapun ingin menyingkirkan barang-barang tak dipakai di rumahnya.
Awalnya saya mencoba jual buku-buku ini karena kondisinya masih bagus. Saya tahu juga kalau harga buku desain juga relatif mahal. Namun sedikit sekali yang bisa dijual.
Buku-buku desain ini akhirnya teronggok nganggur saja di meja dan rak buku. Sampai akhirnya saya menemukan ide brilian: sumbangkan saja ke perpustakaan sekolah saya dulu!
Saya googling nomor kontak perpustakaan jurusan saya dulu. Dan menemukan e-mailnya. Alhamdulillah, penjaga perpustakaan segera merespon dan memberikan nomor handphonenya. Lewat chat, saya kirimkan foto-foto bukunya. Menurut ibu penjaga perpustakaan, disitu belum ada koleksi buku yang saya mau sumbangkan.
Beberapa minggu kemudian, saya mengirimkan buku-buku tersebut padanya. Alhamdulillah, ini termasuk kegiatan menyingkirkan barang yang sukses.
Memberikan Mainan Anak Yang Tidak Dipakai
Anak saya yang sudah 6 tahun sudah tidak lagi tertarik memainkan mainan-mainan lamanya. Ketika dia umur 2 tahun, dia sangat suka mainan hotwheels dan mobil polisi. Namun kini sangat jarang ia sentuh mainan-mainan ini. Dan ada beberapa mainan lainnya yang sudah tak lagi dilirik.
Sayapun meminta si kecil memilih mainan-mainan mana yang ia ingin berikan ke orang lain atau ke sepupu-sepupunya. Sebenarnya bukan pertama kali saya minta si kecil memisahkan mainan yang ia tak lagi pakai, tapi karena belum-belum ada kesempatan memberikan ke si sepupu lagi-lagi sekantong isi mainan dianggurkan.
Tapi hasil kali ini, ada sekotak penuh mainan yang terkumpulkan. Saya tanya padanya, “Apa ada lagi?” Karena masih ada kira-kira 2 rak penuh berisi mainannya yang jarang ia sentuh. “Cukup!” katanya. Ternyata ia masih sayang dengan mainan-mainan yang ia masih mau simpan.
Sekotak mainan itu tadinya mau saya kirimkan ke rumah sepupunya. Tapi setelah berbicara dengan nenek si kecil, nenek itu berkata mau menampungnya karena bisa dimainkan cucu-cucunya kalau mereka main di rumahnya. Dan bisa juga diberikan. Alhamdulillah, saya jadinya tak perlu mengepak.
Dan benar, sekotak mainan itu dimainkan sepupu si kecil yang lain ketika saya bawakan. Saya juga sertakan beberapa buku lama yang si kecil tidak lagi suka dengan temanya. Si kecil ikut ‘memperkenalkan’ mainan-mainan lamanya pada sepupunya yang lebih kecil.
Nenek si kecil berkata heran, “Dia mau ya kasih ke yang lain. Kalau anakku dulu (adik suami) nggak mau lho mainannya disentuh orang lain.” Entahlah ‘kerelaan’ ini apa karena saya pernah ‘brief’ si kecil bahwa sebaiknya kita berikan barang-barang kita yang dipakai untuk dipakai orang lain, karena ‘kasihan’ barang-barang ini dianggurkan.
Di rumah, ada sedikit lowong ruang karena sekotak mainan yang mau dikasih ini cuma terduduk di atas meja kopi. Alhamdulillah!
Penutup
Belum selesai sebenarnya mengeluarkan barang-barang yang tak lagi dibutuhkan di rumah. Sebenarnya si tukang barang bekas suka lewat dan beberapa calon pemilik barang lama melintas, tapi saya percaya juga sih bahwa semua ‘ada waktunya’ dan mungkin ada alasannya kenapa barang-barang ini tidak langsung ‘diangkut’.
Apa kamu juga punya cerita ‘menyingkirkan barang’? Share pendapatmu ya.
Pingback: Memilih Baju Lebaran Untuk Kamu Yang Minimalis - Sunglow and Me